Bismillaahirrohmaanirrohiim
Asslamu’alaykumwarohmatullahi wabarokaatuh
Sahabat kami yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala…
Dari Aisyah r.a. diriwayatkan, ia bercerita, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat dhuha empat rakaat, dan menambah sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.” (HR. Muslim).
An-Nawawi menerangkan, hokum sholat dhuha sunnah ‘muakkad’, paling sedikit dua rakaat dan paling lengkap delapan rakaat. Begitu juga antara dua bilangan, yaitu empat atau enam rakaat, dimana keduanya lebih sempurna dibandingkan dua rakaat.
Dari Aisyah r.a. juga ia bercerita, “Aku sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah mengerjakan sholat dhuha, dan sesungguhnya aku mengerjakannya. Jika Rasulullah meninggalkan suatu amalan, sedang beliau suka untuk mengamalkannya, maka yang demikian itu disebabkan takut orang-orang akan mengamalkannya, sehingga akan diwajibkan atas mereka. (HR. Muslim).
An-Nawawi menjelaskan, untuk memadukan antara dua hadits Aisyah ini, yaitu hadits yang menafikan sholat dhuha yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits yang mengukuhkannya adalah dengan mengatakan bahwa Nabi biasa mengerjakannya pada beberapa waktu, karena keutamaannya, lalu meninggalkannya pada waktu yang lain, lantaran khawatir akan diwajibkan, seperti yang disebutkan Aisyah r.a.
Sebabnya, Nabi tidak selalu berada di rumah Aisyah pada waktu sholat dhuha, kecuali jarang-jarang. Hal tersebut karena mungkin saja beliau bepergian dan mungkin saja tidak bepergian, tetapi berada di masjid atau di tempat lain.
Jika di asumsikan beliau berada di rumah istri-istrinya yang lain, berarti di rumah Aisyah hanya sehari dari sembilan hari, sehingga benar jika ia mengatakan, “Aku tidak pernah melihat beliau mengerjakannya.” Bisa saja pengetahuannya mengenai sholat dhuha yang beliau kerjakan berdasarkan khabar dari beliau, atau khabar dari orang lain yang menyebutkan kalau beliau biasa mengerjakannya. Atau bisa juga dikatakan, maksud ucapannya yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah mengerjakannya, berarti beliau tidak mengerjakannya secara rutin, sehingga hadits ini menafikan rutinitasnya saja, bukan hokum pokoknya.
Wallahua’lam bish-showab.
Wassalamu’alaykum warohmatullahi wabarokaatuh
Hasil Nukilan:
Ud@dIVe dRadio-man
Dki Jakarta, Indonesia